## Hoaks dan Tantangan Demokrasi di Era Media Sosial Indonesia
Era digital telah membawa perubahan yang signifikan terhadap kehidupan manusia, termasuk di Indonesia. Seperti yang pernah dikatakan Bill Gates, “Komputer telah meningkatkan dunia di hampir setiap bidang yang dapat Anda pikirkan. Perkembangan luar biasa dalam komunikasi, kolaborasi, dan efisiensi. Jenis-jenis hiburan dan media sosial yang baru. Akses informasi dan kemampuan untuk memberdayakan orang-orang yang sebelumnya tidak pernah terdengar suaranya.” Pernyataan ini terbukti di Indonesia, di mana perkembangan teknologi informasi begitu pesat. Data menunjukkan, pengguna internet di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 132,7 juta jiwa atau sekitar 52% dari total populasi. Lebih mengesankan lagi, sebanyak 129,2 juta di antaranya aktif menggunakan media sosial, dengan rata-rata waktu penggunaan mencapai 3 jam per hari melalui perangkat seluler. Hal ini disampaikan Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas di Kantor Presiden pada 29 Desember 2016.
Namun, di balik kemajuan pesat ini, Indonesia juga menghadapi tantangan serius: maraknya penyebaran berita bohong atau hoaks. Fenomena ini bukan sekadar isu kecil, tetapi ancaman nyata bagi kepercayaan publik dan stabilitas negara. Kondisi ini, seperti yang digambarkan Ralph Keyes (2004), mengarah pada era “post-truth,” di mana kebenaran menjadi relatif dan mudah dimanipulasi.
Media sosial, sebagai wahana inovasi teknologi informasi, memang menghadirkan peluang luar biasa. Platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram memberikan ruang bagi setiap individu untuk berekspresi dan menyampaikan pendapatnya, sebuah kesempatan yang sebelumnya mungkin tak terbayangkan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ahmed Al Seikh, mantan kepala editor Al-Jazeera Arabic, yang mengatakan, “Di era media sosial, setiap orang mempublikasikan apa pun yang mereka inginkan.” Media sosial telah memperluas jangkauan informasi dan mempermudah koneksi antarmanusia, memperkuat silaturahmi, serta menyebarkan nilai-nilai positif seperti solidaritas, toleransi, dan optimisme. Lebih dari itu, media sosial telah terbukti mampu mendorong perubahan politik, seperti yang terlihat dalam fenomena Arab Spring, yang oleh Howard & Hussain (2013) disebut sebagai “gelombang keempat demokrasi.”
Di Indonesia, dampak media sosial terasa di berbagai sektor: politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Struktur relasi sosial yang sebelumnya hierarkis kini bergeser menjadi lebih egaliter. Warga negara biasa dapat dengan mudah berkomunikasi dan bahkan mengkritik presiden melalui media sosial, seperti dengan mention akun Twitter Presiden.
**Media Sosial: Arena Pertarungan Ide dan Kepentingan**
Namun, keterbukaan ini juga membawa konsekuensi. Media sosial telah menjelma menjadi arena pertarungan berbagai aktor dengan kepentingan yang beragam. Metafora “ring tinju” sangat tepat untuk menggambarkannya: semua elemen masyarakat, bukan hanya sebagai penonton, tetapi juga sebagai petarung yang saling beradu argumen, mengakibatkan kegaduhan yang sulit dihindari.
Perubahan ini mengubah wajah media sosial. Dari sekadar platform berbagi informasi dan interaksi sosial, media sosial kini menjadi medan pertempuran yang kompleks. Kompleksitas ini semakin meningkat pada momentum politik, dengan melibatkan berbagai aktor, tak hanya masyarakat biasa, tetapi juga partai politik, elite politik, organisasi masyarakat (ormas), dan pelaku bisnis.
Sayangnya, isu politik seringkali memicu konfrontasi negatif di media sosial, seperti ujaran kebencian (hate speech), saling hujat, dan penyebaran informasi palsu. Ekspresi politik yang tadinya terbatas pada dunia nyata kini meluas ke dunia maya, meningkatkan penyebaran hoaks dan fake news. Aktor dan korban penyebaran hoaks pun semakin beragam, mulai dari pelaku kriminal hingga individu yang sekadar iseng, bermotif politik, atau mencari sensasi. Hal inilah yang menjadi alasan Presiden Jokowi merespons serius masalah hoaks, karena mengancam stabilitas pemerintahan.
Ada dua faktor utama yang berkontribusi pada fenomena hoaks dan fake news di media sosial. Pertama, akses yang merata dalam penyebaran informasi. Berbeda dengan era pra-digital di mana industri media menguasai penyebaran informasi, kini setiap individu dapat menyebarkan informasi, termasuk informasi palsu yang dibentuk sedemikian rupa untuk kepentingan tertentu (framing). Kedua, menurunnya kepercayaan publik terhadap media mainstream. Personalasi institusi media dan keterlibatan pemilik media dalam politik praktis melemahkan kredibilitas mereka di mata publik. Akibatnya, publik lebih mudah terpapar dan percaya pada informasi hoaks.
**Peran Pemerintah dalam Mengatasi Hoaks**
Dalam situasi ini, pemerintah seringkali menjadi korban dari penyebaran hoaks. Strategi kooptasi dan pendekatan persuasif yang efektif di era media sosial jauh lebih kompleks dibandingkan dengan era pra-digital. Mengontrol atau menegur institusi media saja tidak cukup. Pemerintah dihadapkan pada tantangan komunikasi di media sosial yang dipenuhi berita tendensius, fitnah, dan ujaran kebencian. Seperti yang disampaikan Menko Polhukam Wiranto, “Kebebasan memang hak dalam demokrasi, tetapi kewajiban untuk menaati hukum juga harus ditaati.”
Pemerintah di bawah Presiden Jokowi menegaskan bahwa demokrasi di dunia maya tidak boleh dibungkam, tetapi penyebaran berita bohong dan fitnah juga tidak bisa dibiarkan. Berbagai negara telah menerapkan strategi berbeda untuk mengatasi masalah serupa, seperti Jerman dengan regulasi denda bagi platform media sosial yang menyebarkan hoaks, Amerika Serikat dengan program “Think Again, Turn Away,” dan Myanmar dengan gerakan “Panzagar” untuk melawan hate speech.
Indonesia, dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki, perlu strategi yang komprehensif. Pemerintah tidak boleh terjebak dalam rutinitas, tetapi harus berkolaborasi dengan penggiat media sosial untuk meningkatkan literasi digital dan pemahaman masyarakat dalam menggunakan media sosial secara bijak. Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berlaku sejak 28 November 2016, memberikan landasan hukum untuk menindak penyebaran informasi fitnah, tuduhan, dan ujaran kebencian. Upaya kolektif, dimulai dari kesadaran individu untuk bijak bermedia sosial, sangat penting untuk membangun Indonesia yang lebih baik.
**Kata Kunci:** Hoaks, Media Sosial, Indonesia, Demokrasi, Fake News, Ujaran Kebencian, ITE, Literasi Digital, Kepercayaan Publik, Regulasi, Peran Pemerintah
*) **Thanon Aria Dewangga** – Staf Ahli Bidang Hukum dan Hubungan Internasional Sekretariat Kabinet